Rabu, 12 Agustus 2015

Rupiah Hampir Sampai Posisi Krisis 1998, Mengapa?

Sungguh mencengangkan rupiah sudah di ambang batas saat krisis tahun 1998. $ 1 US sama dengan nilai Rp 13.795 atau nyaris Rp 13.800.

Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri menyatakan rupiah tidak selayaknya berada di level lemah pada saat ini. Pasalnya dari beberapa data ekonomi yang terkini, kondisi Indonesia tidak seburuk yang dinilai dan pelemahan rupiah lebih disebabkan oleh spekulan serta krisis kepercayaan.

nilai tukar rupiah sudah berada di level 13.385 per dolar AS pada 8 Juni 2015. Saat itu Menteri Keuangan menuturkan bahwapelemahan rupiah akibat kondisi penguatan dolar AS atau yang sering disebut dengan ‘super dollar’. Pasalnya, banyak mata uang di negara lain juga mengalami hal serupa.

“Sebenarnya Menteri Keuangan itu sadar enggak sih kalau rupiah sudah sangat lama melemah? Persisnya sejak awal Agustus 2011,” ujar Faisal Basri pada kunjungannya ke kantor redaksi CNN Indonesia, Senin (22/6).

Ia mengatakan, sejak Desember 2014 cukup banyak faktor yang berpotensi mengurangi tekanan terhadap rupiah. Yang terpenting, lanjutnya, adalah kemerosotan harga minyak. Faisal yakin impor minyak menjadi biang keladi kemerosotan rupiah sejak tahun 2011. Namun selama Januari-Mei 2015 impor minyak turun tajam, sebesar 51 persen.

“Sedemikian tajamnya perurunan impor BBM sehingga tidak lagi menjadi komoditas impor terbesar sebagaimana terjadi selama 2011-2014. Kini impor BBM hanya menduduki urutan ketiga terbesar.
Kemerosotan harga BBM pulalah yang membuat transaksi perdagangan luar negeri kembali surplus setelah selama tiga tahun sebelumnya selalu defisit,” tegas Faisal.

Ekspor selama Januari-Mei memang turun sebesar 11,8 persen,namun transaksi perdagagan tetap surplus karena impor turun lebih tajam, yaitu sebesar 17,9 persen. Penurunan impor begitu tajam dialami oleh migas, yaitu sebesar 42,8 persen.

“Penurunan nilai impor juga dialami oleh berbagai komoditi yang tergolong sebagai kebutuhan pokok karena kemerosotan harga, misalnya gandum, kedelai, jagung dan gula,” jelasnya.

Perdagangan jasa juga mengalami perbaikan. Defisit perdagangan jasa yang biasanya per triwulan sekitar US$ 2,5 miliar sampai US$ 3,5 miliar, pada triwulan I-2015 hanya US$ 1,8 miliar.

Dengan demikian, neraca pembayaran terus mencatatkan surplus, sehingga cadangan devisa juga masih menikmati surplus. Karena itu seharusnya secara teknis, rupiah tidak mengalami pelemahan berkelanjutan.

“Jadi mengapa rupiah terus melemah padahal pasokan dolar AS lebih besar ketimbang permintaannya? Penyebabnya diduga pemilik dolar AS tidak menukarkan dolarnya ke rupiah karena motif berjaga-jaga. Kalau saya sih menilai seharusnya rupiah berada di level 11.000 per dolar AS,” ungkapnya.
Faisal menilai pemilik dolar AS khawatir akan merugi jika nanti mereka butuh membutuhkan mata uang AS, maka harus membeli dengan kurs yang lebih tinggi lagi. Ia menilai, masyarakat maupun pebisnis tak berhasil diyakinkan oleh pemerintah dan Bank Indonesia (BI).

“Ada semacam krisis kepercayaan dan tergerusnya trust erhadap pemerintah dan BI. Hal itu mengakibatkan pasokan dolar AS di pasar valuta asing tidak meningkat. Apalagi mengingat volume transaksi di pasar valuta asing sangat tipis, sekitar US$ 2 miliar saja dalam sehari,” terangnya.


Sedangkan menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara, faktor mata uang yuan mengakibatkan rupiah melemah. Kabarnya Tiongkok berniat melemahkan yuan sekitar 1,9 persen untuk mendorong pengadaan ekspor. "Pada saat yang sama, harga komoditas turun sehingga berdampak negatif terhadap negara pengekspor komoditas seperti Indonesia," terangnya.

Sementara Rektor Universitas Paramadina Firmanzah menyatakan akan mencoba memahami pelaku usaha yang gugup karena kondisi ekonomi Indonesia tidak ramah. Menurutnya, langkah Tiongkok melemahkan yuan membuat banyak pelaku pasar keuangan dunia kaget. Hal ini terkait prospek perekonomian Tiongkok yang dianggap tidak lebih baik lagi.

Secara terpisah, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Sofyan Djalil menyatakan, melemahnya Rupiah ini memang dipengaruhi faktor dalam negeri dan luar negeri. Untuk dalam negeri sendiri, permintaan dolar AS cukup tinggi karena banyak perusahaan membayarkan dividen.
"Apalagi bulan-bulan ini perusahaan di Indonesia itu membayar dividen. Itu tiap Juni permintaan dolar AS banyak," jelas Sofyan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (17/6/2015).