I. Penyebab
Inflasi
Inflasi adalah turunnya nilai mata uang dibanding dengan
harga barang-barang yang jadi kebutuhan rakyat. Sebagai contoh, di Yogyakarta
tahun 1990 harga sepiring nasi, telor dan ayam di warung Rp 1. 500. Di tahun
2013 ini nilainya menjadi Rp 22.000. Padahal banyak orang yang gajinya tidak
naik selama kurun waktu tersebut. Kalau pun ada yang naik, tidak sebesar
kenaikan harga barang.
Artinya jika dulu dengan uang Rp 135.0000 orang bisa makan
90 kali (3 kali sehari, 30 hari) pada tahun 1990, maka pada tahun 2013 dengan
uang Rp 135.000 dia hanya bisa makan 6 kali (2 hari) saja! Akibat berbagai
kenaikan harga barang yang sudah jadi “kebijakan” Pemerintah, maka nilai rupiah
terus menurun. Jika sebelum krisis moneter tahun 1997-1998 nilai rupiah adalah
sekitar Rp 2.200 per 1 US$, sekarang nilainya turun hampir menjadi Rp 12.000
per 1 US$. Ini adalah sebuah kezaliman yang dilakukan oleh sistem riba, bank
dan uang kertas, sebuah pemiskinan masal melalui kebijakan kenaikan harga yang
mendorong turunnya nilai rupiah atau inflasi.
Mata uang yang anda pegang sekarang baik dalam rupiah,
dollar ataupun yang lainnya disebut sebagai fiat money. Disebut demikian karena
dicetak oleh otoritas moneter tanpa harus di backup dengan cadangan emas atau
sejenisnya. Konsekuensinya, jika uang dicetak berlebihan maka akan timbul
inflasi. Karena itu, kebijakan moneter seringkali menjadi sumber inflasi. Itu
pula yang mendasari kenapa dewasa ini otoritas moneter diberi tugas
mengendalikan inflasi. Dengan kata lain yang menjadi sumber inflasi diminta
untuk mengendalikan dirinya sendiri.
II. Bagaimana Emas
& Perak Bisa Mengatasi Inflasi?
Inflasi yang disebabkan oleh kebijakan moneter maka
Emas-Perak/ Dinar-Dirham dapat mengatasinya. Kalau Dinar-Dirham diadopsi
sebagai mata uang resmi, maka otoritas moneter tidak lagi memiliki kemampuan
untuk mencetak uang secara semena-mena. Dengan kata lain, kekuasaan mencetak
uang menjadi hilang.
Keampuhan mata uang mengendalikan
inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of
California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas(gold
standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang
pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat
standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price
index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada.
Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga
pada tahun 1800.
Di dalam rezim standar emas,
nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara
tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang
yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan
emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin
emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai
emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan
menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.
Kestabilan nilai tukar membuat
transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat
berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang
dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa
mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar(hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha
tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat
nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku
ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat
money).
Demikian pula kestabilan mata
uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun
pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif
tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang
Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar.
Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan
ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55
triliun. Angka yang cukup besar.
Iklim yang stabil tersebut
menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah
dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang
sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar.
Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.
Standar emas memiliki mekanisme
untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada
abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow
adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika
suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga
secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan
harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat
harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif
lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance
of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya
emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga
lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan
demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic
adjustment).
Referensi