Senin, 27 Juli 2015

BAGAIMANA EMAS DAN PERAK MENGATASI INFLASI?



I. Penyebab Inflasi
Inflasi adalah turunnya nilai mata uang dibanding dengan harga barang-barang yang jadi kebutuhan rakyat. Sebagai contoh, di Yogyakarta tahun 1990 harga sepiring nasi, telor dan ayam di warung Rp 1. 500. Di tahun 2013 ini nilainya menjadi Rp 22.000. Padahal banyak orang yang gajinya tidak naik selama kurun waktu tersebut. Kalau pun ada yang naik, tidak sebesar kenaikan harga barang.
Artinya jika dulu dengan uang Rp 135.0000 orang bisa makan 90 kali (3 kali sehari, 30 hari) pada tahun 1990, maka pada tahun 2013 dengan uang Rp 135.000 dia hanya bisa makan 6 kali (2 hari) saja! Akibat berbagai kenaikan harga barang yang sudah jadi “kebijakan” Pemerintah, maka nilai rupiah terus menurun. Jika sebelum krisis moneter tahun 1997-1998 nilai rupiah adalah sekitar Rp 2.200 per 1 US$, sekarang nilainya turun hampir menjadi Rp 12.000 per 1 US$. Ini adalah sebuah kezaliman yang dilakukan oleh sistem riba, bank dan uang kertas, sebuah pemiskinan masal melalui kebijakan kenaikan harga yang mendorong turunnya nilai rupiah atau inflasi.
Mata uang yang anda pegang sekarang baik dalam rupiah, dollar ataupun yang lainnya disebut sebagai fiat money. Disebut demikian karena dicetak oleh otoritas moneter tanpa harus di backup dengan cadangan emas atau sejenisnya. Konsekuensinya, jika uang dicetak berlebihan maka akan timbul inflasi. Karena itu, kebijakan moneter seringkali menjadi sumber inflasi. Itu pula yang mendasari kenapa dewasa ini otoritas moneter diberi tugas mengendalikan inflasi. Dengan kata lain yang menjadi sumber inflasi diminta untuk mengendalikan dirinya sendiri.
II. Bagaimana Emas & Perak Bisa Mengatasi Inflasi?
Inflasi yang disebabkan oleh kebijakan moneter maka Emas-Perak/ Dinar-Dirham dapat mengatasinya. Kalau Dinar-Dirham diadopsi sebagai mata uang resmi, maka otoritas moneter tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencetak uang secara semena-mena. Dengan kata lain, kekuasaan mencetak uang menjadi hilang.
Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram, (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas(gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.

Di dalam rezim standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut dsandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijaminan emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawarannamun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.

Kestabilan nilai tukar membuat transaksi perdagangan barang dan jasa (seperti traveling), transaksi modal dapat berjalan dengan lancar dan stabil. Nilai transaki di masa yang akan datang dapat diprediksi lebih akurat sebab nilai tukar mata uang relatif stabil. Seorang importir dapat melakukan pemesanan barang di masa mendatang tanpa perlu melakukan lindung nilai tukar(hedging). Demikian pula seorang eksportir dapat melakukan ekspansi usaha tanpa perlu khawatir di masa akan datang nilai ekspor akan terganggu akibat nilai tukar yang tidak stabil. Dengan demikian standar emas melindungi pelaku ekonomi dari miskalkulasi kegiatan ekonomi (economic miscalculation) yang merupakan penyakit mata uang kertas (fiat money).

Demikian pula kestabilan mata uang emas membuat nilai utang luar negeri baik dalam jangka panjang ataupun pendek, juga relatif stabil. Hal ini karena perubahan kurs yang fluktuatif tidak terjadi sebagaimana dalam standar mata uang kertas. Bandingkan misalnya saat ini ada sekitar 22 miliar dolar utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 2009 dengan asumsi kurs APBN Rp. 9100/dolar. Jika nila rupiah berada pada angka Rp 12.000/dolar seperti rerata belakangan ini, maka tambahan utang akibat perubahan kurs tersebut naik sebesar Rp. 55 triliun. Angka yang cukup besar.

Iklim yang stabil tersebut menjadikan kegiatan perdagangan meningkat dengan drastis. Keunikan ini telah dibuktikan oleh Taylor seorang peneliti IMF yang menyimpulkan bahwa sepanjang sejarah implementasinya, standar emas telah memberikan kestabilan nilai tukar. Dampaknya, transaksi perdagangan tumbuh dengan pesat.

Standar emas memiliki mekanisme untuk menjaga neraca pembayaran setiap negara agar tetap dalam keadaan equilibrium. Mekanisme yang dipopulerkan oleh David Hume (1711-1776) pada abad ke-18 tersebut disebut mekanisme price-specie-flow adjusment. Proses mekanisme tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Jika suatu negara, Indonesia misalnya meningkatkan supply uang kertasnya yang dibacking emas maka inflasi di negara tersebut akan naik yakni harga-harga secara umum lebih mahal. Tingginya harga-harga di dalam negeri dibandingkan harga-harga di luar negeri seperti Malaysia menyebabkan ekspor menurun akibat harganya yang kurang kompetitif. Pada yang sama impor meningkat karena reatif lebih murah. Akibatnya Indonesia mengalami defisit neraca pembayaran (balance of payment). Defisit ini kemudian dibayar dengan penyerahan emas kepada Malaysia. Dengan mengalirnya emas tersebut menyebabkan harga barang di Indonesia kembali turun sehingga lebih murah dari sebelumnya. Ekspor pun meningkat sebaliknya impor menurun. Dengan demikian defisit neraca pembayaran Indonesia terkoreksi dengan sendirinya (automatic adjustment).

Referensi